Drama Cilok, Air Mata, dan Deadline: Seni Memahami Gen Z di Dunia Advertising
Di dunia advertising dan percetakan Jember, kita terbiasa hidup dengan tekanan. Deadline yang mepet, revisi desain dari klien yang warnanya minta "kuning tapi agak hijau dikit," hingga mesin cetak yang tiba-tiba ngadat di jam genting.
Tapi di Rejeki Cetak, tantangan manajemen terberat bagi saya dan tim senior bukanlah menaklukkan mesin digital printing, melainkan memahami algoritma perasaan dua srikandi Gen Z kami: Diyah dan Indri.
Bekerja dengan Gen Z itu ibarat naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Seru, penuh kejutan, tapi sering bikin jantung mau copot. Secara kemampuan teknis, mereka cepat belajar dan kreatif. Tapi secara budaya kerja? Mari saya ceritakan sedikit "drama" dapur kami yang mungkin relate dengan Bapak/Ibu sekalian.
The "Civil War" of Cilok
Bagi kami angkatan lama, delegasi tugas itu simpel. "Kamu kerjakan A, saya kerjakan B." Selesai. Tapi bagi Diyah dan Indri, urusan siapa yang turun ke depan jalan buat beli cilok bisa jadi negosiasi geopolitik yang lebih alot daripada meeting dengan klien korporat.
Gak ada yang mau ngalah. "Masa aku terus yang beli? Kamu dong!" Debat ini bisa memakan waktu 15 menit. Padahal tukang ciloknya sudah mau pindah mangkal, dan waktu yang terbuang sebenarnya bisa dipakai buat finishing satu spanduk atau neon box pesanan klien.
Siklus Pedas > Sakit > Ulangi
Ini fenomena yang sampai sekarang bikin saya geleng-geleng kepala. Hobi mereka adalah makan makanan dengan level pedas yang tidak manusiawi (seblak, mie setan, dsb). Polanya selalu sama dan presisi:
- Makan pedas level dewa sambil keringatan dan ketawa-ketiwi bahagia.
- Dua jam kemudian mulai pucat dan mengeluh sakit perut.
- Besoknya berjanji tobat.
- Lusa diulangi lagi.
Konsistensi yang luar biasa, sayang salah penempatan. Coba konsistensi ini dipakai buat Quality Control cetakan, pasti Rejeki Cetak sudah IPO melantai di bursa saham!
Air Mata dan Pembagian Tugas
Di dunia industri kreatif, gesekan itu biasa. Tapi drama bagi tugas antara Diyah dan Indri kadang eskalasinya cepat sekali. Dari yang awalnya cuma saling diam (perang dingin), tiba-tiba sudah ada yang nangis di pojokan. Sebagai atasan, saya kadang bingung menempatkan posisi. Apakah saya harus jadi bos yang tegas, mediator PBB, atau bapak asuh?
Sisi Seriusnya: Kenapa Kami Tetap Bertahan?
Meskipun sering bikin saya mengelus dada, keberadaan Gen Z seperti Diyah dan Indri adalah nyawa bagi bisnis percetakan seperti kami.
Dunia advertising butuh emosi. Drama-drama kecil itu, percaya atau tidak, adalah bukti bahwa mereka punya "rasa". Mereka sensitif, dan sensitivitas itu penting untuk menangkap tren pasar yang juga cepat berubah. Desain grafis yang bagus lahir dari perasaan yang peka, bukan dari hati yang kaku.
Mereka mungkin "renyah" di luar, tapi kreativitas mereka otentik. Ketulusan mereka (bahkan saat berantem soal cilok) membawa energi hidup ke dalam kantor yang penuh kebisingan mesin.
Tugas kita sebagai pemimpin maupun rekan senior bukan untuk mengubah mereka jadi robot kaku ala tahun 90-an, tapi menjadi "rem" dan "penunjuk arah". Membiarkan mereka berekspresi, sambil pelan-pelan mengajarkan tentang tanggung jawab dan kolaborasi (bahwa beli cilok itu bisa gantian, lho).
Ada yang punya pengalaman serupa menghadapi uniknya Gen Z di kantor?
Atau mau lihat langsung hasil kreativitas mereka (saat tidak sedang sakit perut)? Mampir ke Rejeki Cetak Jember! Kami siap melayani kebutuhan advertising Anda mulai dari spanduk, neon box, hingga merchandise dengan penuh rasa.
#RejekiCetak #GenZWorkLife #AdvertisingLife #Leadership #ManagementHumor #JemberBisnis